Koleksi Terbaru Kami

Kaos Santri, Perlunya Mengukuhkan Kembali Islam Nusantara

Jual Kaos Santri
Kaos Santri


Kaos Santri. Sebenarnya, tanpa disebutkan sekalipun, kita semua yang ada di wilayah Kepulauan Nusantara memiliki kekhususan karakteristikdalam menjalankan syariat Islam. Memiliki cara yang berbeda dengan wilayah lainnya.

Dalam lintasan sejarah Islam di Nusantara pada awalnya dikembangkan oleh Para Wali Songo sehingga diterima oleh mayoritas masyarakat. Islam yang dikembangkan di Nusantara adalah Islam Ahlus Sunnah Wal Jama’ah menurut pemahaman Imam Al Asy’arie dan Imam Al Maturidi..  Menggunakan metodologi madzhab Syafi’ie..  Menggunakan tasawuf berkiblat pada Imam Al Ghozali, Imam Al Junaidi, Imam Hasan As Syadzili, Syaikh ‘Abdul Qodir Al Jailani, dll.
Ketika masuk abad modern, ditandai dengan runtuhnya Dinasti Turki Utsmani sebagai pemimpin tertinggi umat Islam sedunia, maka Ulama bersepakat mendirikan Jam’iyyah Muslimin yang diberi nama Nahdlatul Ulama pada tahun 1926.
Nahdlatul Ulama atau NU sebenarnya “hanyalah” wadah spiritual umat Islam supaya tidak tercerai berai. Dalam perkembangannya, ternyata NU tidak hanya berperan sebagai wadah spiritual belaka, melainkan juga turut mengukuhkan identitas kebangsaan sehingga terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ikut mendirikan, memperjuangkan, mempertahankan dan aktif dalam era pembangunan hingga saat ini.
Faham Ahlus Sunnah wal Jama’ah atau disingkat Aswaja begitu dipegang teguh oleh para Ulama NU. Hingga era 1980-an,  hampir tidak ada klaim ada kelompok yang tegas mengakui Aswaja sebagai akidah, kecuali NU (dan hanya beberapa organisasi lokal lainnya).
Yang terjadi adalah mereka membully NU sebagai pemecah belah umat. Karena Islam hanyalah satu yakni Islam rahmatan lil alamin. Tidak ada Islam Aswaja. Aswaja hanyalah bualan ulama NU karena tidak ada dalilnya.
Begitu mereka melek, membuka kitab-kitab Hadits yang muktabar lagi shohih, maka di sana dijumpai bahwa Islam akan terpecah menjadi 73 golongan dan yang mendapat pertolongan Gusti Allah SWT adalah Aswaja.
Maka berbondong-bondonglah pengakuan bahwa kelompok mereka sebagai Aswaja datang seperti air bah. Lalu tiba-tiba seakan ingin membalikkan kenyataan, bahwa merekalah Aswaja sejati, sedangkan NU bukan Aswaja tapi ahli bid’ah lagi sesat.
Menghadapi hal ini, maka Ulama NU tidak tinggal diam. Aswaja telah diklaim oleh banyak sekali organisasi atau golongan Islam yang semula tidak kita ketahui bagaimana mereka. Karena Aswaja sudah tidak menjadi kekhususan lagi, maka identitas keNU-an ditempelkan sebagai identitas tambahan. Jadilah pada masa itu kita kenal istilah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah An Nahdliyyah.
Keusilan sebagian dari golongan di luar NU ternyata tidak berhenti sampai di sini. Dihembuskanlah berbagai fitnah kepada tokoh-tokoh dan ulama NU dengan berbagai tudingan keji. Mulai dari sematan gelar  liberal, syiah, komunis, antek Yahudi dan sejenisnya, yang intinya hendak menelanjangi seakan-akan NU yang ada saat ini telah menyimpang dari ajaran yang telah digariskan oleh para pendiri NU pada generasi awalnya.
Sejak saat itulah muncul NU dengan bergaris-garis sebagai tambahan di belakangnya. Untuk merespons keusilan ini, maka kemudian dicetuskanlah ide Islam Nusantara sebagai sebuah gagasan brilian.
Mengapa? Sebab, oleh sebagian kalangan yang menghendaki Islam secara kaffah, Islam yang murni, Islam yang kembali ke Quran dan Sunnah, masih banyak anggapan bahwa budaya lokal adalah bagian dari budaya jahiliyah, masih mengandung unsur syirik, tahayul, gugon tuhon, dan sejenis itu sehingga harus dihabisi, harus dimusnahkan.
Istilah Nusantara disematkan sebagai sebuah identitas kekhususan tentu merupakan sebuah tamparan telak. Mengapa? Sebab, kata “Nusantara” tidak mungkin bisa dicontoh, lebih-lebih diklaim lagi oleh mereka.
Sehingga mereka menjadi kaget dan langkahnya terhenti. Kena skakmat. Mati kutu. Lalu, reaksinya kita bisa melihat dengan sangat gamblang. Mencaci maki dan memfitnah istilah ini dengan membuat definisi secara sepihak yang bertolak belakang dari yang aslinya dan menyebarkan secara massiv supaya kaum Muslimin di Indonesia menolak istilah Islam Nusantara.
Inilah tugas kita saat ini. Bersama-sama menjelaskan kepada masyarakat makna dan tujuan dari Islam Nusantara itu sendiri.  Islam Nusantara telah diterima oleh seluruh jumhuriyah Ulama sedunia dan telah dijadikan sebagai referensi khusus. Saatnya Islam khas Indonesia ini memimpin dunia.
Salam cinta Islam Nusantara. Salam cinta NKRI
Oleh : Shuniyya Ruhama (Pengajar Ponpes Tahfidzul Quran Al Istiqomah Weleri-Kendal)
Bagi pembaca yang belum mendapatkan/ memiliki koleksi Koas Santri terkeren kami
silahkan  segera menghubungi costumer servis kami via Whatsapp di 085740902266

Rincian Harga
Size : S, M, L, dan XL     = Rp 65.000
Size : XXL                       = Rp 70.000
Size : XXXL                     = Rp 75.000

Lengan Panjang tanbah  = Rp 5000

RP 65.000
Lihat Detail

Kaos Santri, Islam Nusantara Anti Arab, Benarkah?

Kaos Santri Keren
Kaos Santri

Kaos Santri, Sebetulnya sudah terlalu sering dijawab oleh banyak orang tentang ini. Tapi karena masih ada yang bertanya, baiklah saya jawab melalui status facebook di sini.

Menganut Islam, sudah pasti harus berpedoman pada al-Qur’an dan al-Hadits. Kedua sumber Islam ini berbahasa Arab. Tidak mungkin seorang muslim bisa membaca dan memahami al-Qur’an dan al-Hadits dengan baik tanpa mahir bahasa Arab.
Oleh karena itu, jika Anda belajar di Pondok Pesantren–lembaga pengusung Islam Nusantara-pertama yang diajarkan adalah bahasa Arab. Mulai dari cara menulis Arab yang benar (khath, imla’), melafalkan al-Qur’an sesuai dg tajwid dan makharijul huruf, hingga belajar gramatika Arab (nahwu), morfologi Arab (sharaf), semantika Arab (balaghah), leksikologi Arab (mu’jamiyat), bahkan juga sastra Arab (badi’, bayan, ma’ani, qawafi, ‘arudl, dll).
Kitab-kitab kuning berbahasa Arab tentang ilmu-ilmu bahasa Arab ini, jika belajarnya dari dasar, tidak habis dipelajari dalam waktu 5 tahun.
Dalam waktu yang sama, para santri juga belajar ilmu-ilmu keislaman, yang semua sumber belajarnya berbahasa Arab. Bidang kajiannya beragam. Ada ilmu fiqh (hukum Islam), ilmu ushul fiqh (metodologi hukum Islam), ilmu qawa’id fiqhiyah (prinsip-prinsip yurisprudensi),  tafsir al-Qur’an, Hadits dan syarahnya, ‘ulumul Qur’an, ‘ulumul Hadits, tarikh (sejarah), ilmu falak, dll. Sekali lagi, semua sumber ilmu ini juga berbahasa Arab.
Jika Anda cermati pula, sebagian besar nama-nama kyai dan santri pengusung Islam Nusantara beserta keluarganya juga menggunakan nama Arab. Tulisan mereka di Pesantren juga menggunakan bahasa Arab atau Arab pegon. Bahkan, nyanyian nasionalisme Indonesia yang sekarang ini marak didengungkan setiap ceremoni juga berbahasa Arab. Yakni, mars Yalal Wathon.
Sampai sini, terang benderang bahwa Islam Nusantara tidak anti Arab. Malah, mereka ahli berbahasa Arab, baik dalam tulisan maupun ucapan.
Adalah persepsi yang salah bahwa Islam Nusantara anti Arab dan alergi dengan Arab. Pun fitnah yang keji, sebagaimana video yang diviralkan, menuduh bahwa sholat muslim Nusantara menggunakan bahasa non-Arab. Jangankan ibadah sholat yang jelas disyariatkan, doa, sholawatan, bahkan lagu nasionalisme Indonesia juga berbahasa Arab.
Nah, meski muslim Nusantara mencintai bahasa Arab, tapi tidak Arabis. Bukan penganut Arabisme. Di sini bedanya.
Muslim Nusantara menguasai bahasa Arab digunakan sebagai sarana ibadah, alat untuk memahami al-Qur’an, al-Hadits, dan pendapat para ulama di masa lampau yang sebagian besar ditulis dalam bahasa Arab. Selebihnya, digunakan untuk alat komunikasi dan pengantar studi yang membutuhkan bahasa Arab.
Dalam implementasi dan amaliah budaya, Islam Nusantara sepenuhnya menggunakan nalar dan praktik kebudayaan Nusantara. Lebih spesifik kebudayaan Indonesia. Bukan kebudayaan Arab. Kami tidak Arabis dan bukan penganut Arabisme.
Bahasa sehari-hari kami menggunakan bahasa Indonesia. Cara berpakaian, berperilaku, dan bermu’amalah, semuanya menggunakan kebudayaan yang berlaku di Indonesia. Termasuk dalam berbangsa dan bernegara, kami mengikuti kesepakatan nasional (ijma’ wathoniy) yang sudah lazim. Yakni berideologi Pancasila, berkonstitusi UUD 1945, berprinsip Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI bentuk final (harga mati, tidak bisa ditawar-tawar lagi).
Namanya saja Islam Nusantara, maka aqidahnya jelas Islam, berpedoman pada al-Qur’an, al-Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Tapi dasar kebangsaan kami adalah Pancasila dan UUD 1945. Praktik kebudayaannya adalah kebudayaan yang berlaku dan berkembang di Indonesia.
Di sini memang dibutuhkan kecerdasan nalar untuk memilah mana ajaran Islam dan mana kebudayaan Arab. Sebagai ajaran Islam, tentu wajib diikuti dan diamalkan oleh setiap muslim. Tapi sebagai kebudayaan, tentu tidak harus diikuti dan tidak boleh dipaksakan untuk diterapkan. Karena Indonesia punya lanskap kebudayaannya sendiri, yakni kebudayaan Nusantara. Di sini ada budaya Jawa, budaya Sunda, budaya Minang, budaya Aceh, budaya Makassar, budaya Batak, budaya Sasak, budaya Papua, dan sebagainya.
Dengan penjelasan ini, tampak jelas bahwa Islam Nusantara bisa memilah dan sekaligus mendamaikan antara aqidah, kebangsaan, dan kebudayaan. Atau, antara keislaman dan keindonesiaan dalam satu nafas kehidupan.
Bangsa Arab pun tidak berkepentingan bahwa menjadi muslim harus berbudaya Arab. Mereka memahami, nama agama dan mana budaya. Sebagai kebudayaan Arab, bangsa Arab pun tentu tidak akan memaksakan untuk diikuti. Mereka tidak akan memaksakan kita harus menjadi Arabis, atau penganut arabisme.
Atas pemahaman ini, maka Islam Nusantara tetap berhubungan baik dan bekerjasama dengan negara manapun, termasuk negara-negara Arab. Banyak sekali anak-anak muslim Nusantara belajar bertahun-tahun di negara-negara Arab. Mereka mahir bahasa Arab, menguasai ilmu-ilmu keislaman secara mendalam, tapi tetap berkebudayaan Nusantara.
Itulah Islam Nusantara, Islam yang selama ini kita praktikkan di Indonesia. Semoga penjelasan singkat ini bisa memberikan jawaban atas kegalauan mereka tentang anti Arab.
Oleh: Dr. KH Marzuki Wahid, Sekretaris Lakpesdam PBNU
Bagi pembaca yang belum mendapatkan/ memiliki koleksi Koas Santri terkeren kami
silahkan  segera menghubungi costumer servis kami via Whatsapp di 085740902266

Rincian Harga
Size : S, M, L, dan XL     = Rp 65.000
Size : XXL                       = Rp 70.000
Size : XXXL                     = Rp 75.000

Lengan Panjang tanbah  = Rp 5000

RP 65.000
Lihat Detail

Kaos Santri, Melestarikan Warisan Gus Dur

Jual Kaos Santri
Kaos Santri

Kaos SantriKH. Abdurrahman Wahid atau yang akrab dipanggil "Gus Dur" adalah salah satu tokoh yang paling banyak memberi inspirasi kemajuan Bangsa Indonesia. Gus Dur, selain terkenal sebagai seorang pemikir kontroversial ia juga dikenal sebagai tokoh penggugah kesadaran masyarakat dalam menghadapi keberagaman. hal tersebut terbukti pada saat Gus Dur memimpin Indonesia.

Kaos Santri
Gus Dur

Indonesia terkenal dengan negara yang sangat beragam, keberagaman ini menjadi salah satu tantangan bahkan ancaman untuk tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. kendati keberagaman ini menghadirkan ancaman yang begitu besar, namun Gus Dur telah berhasil memberikan pandangan yang sangat relefan dengan situasi tersebut. Gus Dur selalu mengajarkan bahwa kunci perdamaian adalah saling menghargai dan saling memuliakan satu sama lain sesama warga negara Indonesia. salah satu ungkapan Gus Dur yang sangat populer untuk saling menghargai dan memuliakan antar sesama manusia adalah:

"Memuliakan manusia berarti memuliakan penciptanya"

sebagai warga negara yang baik, tentu tugas utama kita adalah melanjutkan dan melestarikan apa yang telah diajarkan dan ditinggalkan oleh Gus Dur untuk kita semua. adapun langkah yang paling sederhana dalam melestarikan hal tersebut adalah dengan meyebarluaskan konten konten atau kata-kata bijak Gus Dur.  
Bagi pembaca yang belum mendapatkan/ memiliki koleksi Koas Santri terkeren kami
silahkan  segera menghubungi costumer servis kami via Whatsapp di 085740902266

Rincian Harga
Size : S, M, L, dan XL     = Rp 65.000
Size : XXL                       = Rp 70.000
Size : XXXL                     = Rp 75.000

Lengan Panjang tanbah  = Rp 5000


RP 65.000
Lihat Detail

Kaos Santri, Santri Menurut KH. Mustofa Bisri (Gus Mus)

Jual Koas Santri
Kaos Santri
Kaos Santri, Berikut definisi singkat terkait santri menurut KH Mustofa Bisri (Gus Mus).
Terapat enam definisi yang disampaikan Gus Mus.

"Santri adalah murid kiai yang dididik dengan kasih sayang untuk menjadi mukmin yang kuat (yang tidak goyah imannya oleh pergaulan, kepentingan, dan adanya perbedaan)," kata Gus Mus  melalui akun media sosialnya, Senin (22/10). 

Santri juga adalah kelompok yang mencintai negaranya, sekaligus menghormati guru dan orang tuanya kendati keduanya telah tiada.

"Yang mencintai tanah airnya (tempat dia dilahirkan, menghirup udaranya, dan bersujud di atasnya) dan menghargai tradisi-budaya-nya.  Yang menghormati guru dan orang tua hingga tiada," lanjut Gus Mus.

Seorang santri, lanjut Gus Mus adalah kelompok orang yang memiliki kasih sayang pada sesama manusia dan pandai bersyukur.

"Yang menyayangi sesama hamba Allah; yang mencintai ilmu dan tidak pernah berhenti belajar (minal mahdi ilãl lahdi); Yang menganggap agama sebagai anugerah dan sebagai wasilah mendapat ridha tuhannya. Santri ialah hamba yang bersyuku," kata Gus Mus.

Hal itu diungkapkan Gus Mus dalam rangka merayakan Hari Santri yang jatuh pada setiap tanggal 22 Oktober. Penetapan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri secara nasional telah ditetapkan sejak tiga tahun lalu pada 2015 oleh Presiden Jokowi melalui dorongan dari kalangan Nahdlatul Ulama. (Ahmad Rozali) NU Online

Bagi pembaca yang belum mendapatkan/ memiliki koleksi Koas Santri terkeren kami
silahkan  segera menghubungi costumer servis kami via Whatsapp di 085740902266

Rincian Harga
Size : S, M, L, dan XL     = Rp 65.000
Size : XXL                       = Rp 70.000
Size : XXXL                     = Rp 75.000
Lengan Panjang tanbah  = Rp 5000



RP 65.000
Lihat Detail

Kaos Santri, Sejarah Nahdlatul Ulama (NU)

Jual Kaos Santri
Kaos Santri
Kaos Santri Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia. Sejarah hari lahir NU terjadi 93 tahun silam, tepatnya tanggal 31 Januari 1926. Pendirian NU digagas para kiai ternama dari Jawa Timur, Madura, Jawa Tengah, dan Jawa Barat, yang menggelar pertemuan di kediaman K.H. Wahab Chasbullah di Surabaya. Selain K.H. Wahab Chasbullah, pertemuan para kiai itu juga merupakan prakarsa dari K.H. Hasyim Asy’ari. Yang dibahas pada waktu itu adalah upaya agar Islam tradisional di Indonesia dapat dipertahankan. Maka, dirasa perlu dibentuk sebuah wadah khusus.

Sebenarnya, upaya semacam itu sudah dirintis Kiai Wahab jauh sebelumnya. Bersama K.H. Mas Mansur, seperti ditulis Ahmad Zahro dalam buku Tradisi Intelektual NU: Lajnah Bahtsul Masail 1926-1999 (2004), Kiai Wahab mendirikan Nahdlatul Wathan yang artinya “kebangkitan tanah air” pada 1914. Martin van Brulnessen dalam buku berjudul NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru (1994) menyebut bahwa, boleh dibilang, Nahdlatul Wathan merupakan sebuah lembaga pendidikan agama bercorak nasionalis moderat pertama di Nusantara. Sebagai catatan, Nahdlatul Wathan versi Kiai Wahab dan Kiai Mas Mansur berbeda dengan lembaga bernama serupa yang didirikan Tuan Guru Kiai Haji (TGKH) Muhammad Zainuddin Abdul Madjid di Lombok, Nusa Tenggara Timur, pada 1953.

Menjaga Islam Nusantara
 Nahdlatul Wathan berkembang pesat dan pada 1916 sudah memiliki madrasah dengan gedung besar serta bertingkat di Surabaya. Cabang-cabangnya pun berdiri di mana-mana, termasuk di Malang, Semarang, Gresik, Jombang, dan lain-lain. Tak cukup dengan itu, Kiai Wahab kembali menggagas satu perhimpunan lagi pada 1918. Dikutip dari buku Pertumbuhan dan Perkembangan NU (1985) karya Choirul Anam, organisasi ini bernama Nahdlatul Tujjar atau “kebangkitan para pedagang”. Setahun berselang, di Ampel, Surabaya, berdiri majelis diskusi dan madrasah bernama Taswirul Afkar. Madrasah ini didirikan sebagai tempat mengaji dan belajar ilmu agama bagi anak-anak yang diharapkan kelak dapat mempergunakan ilmunya untuk melestarikan Islam tradisional. Kiai Wahab dan Kiai Mas Mansur punya andil dalam pembentukan madrasah ini. Uniknya, Kiai Haji Mas Mansur kelak dikenal sebagai ulama dari Muhammadiyah, ia bahkan merupakan murid langsung dari pendiri organisasi Islam-pembaharu ini, Kiai Haji Ahmad Dahlan. Muhammadiyah nantinya berpolemik dengan golongan Islam-tradisional yang menjadi pemantik lahirnya NU. Kiai Wahab dan para kiai Islam-tradisional lainnya merasa sangat perlu membentengi Islam Nusantara karena beberapa tata cara ibadah keagamaan mereka kerap ditentang golongan Islam-reformis yang digawangi misalnya oleh Al-Irsyad dan Muhammadiyah, pada dekade ketiga abad ke-20 itu.

Pada awal 1926, rapat antar-organisasi Islam di Cianjur menyatakan akan mengirim dua utusan ke Mekah untuk menghadap Raja Ibn Sa’ud. Kiai Wahab mengusulkan delegasi tersebut membawa persoalan mengenai praktik keagamaan Islam tradisional di Indonesia. Namun, usul ini ditolak dengan tegas oleh kelompok Islam-reformis. Penolakan itulah yang kemudian membuat golongan Islam-tradisional memutuskan bakal mengambil jalan sendiri untuk menghadap Raja Ibn Sa’ud guna memperjuangkan kepentingan mereka. Maka, pada 31 Januari 1926, dikutip dari K.H. Abdul Wahab Hasbullah: Bapak dan Pendiri NU (1972) karya Saifuddin Zuhri, para kiai berkumpul di kediaman Kiai Wahab dan memutuskan membentuk suatu organisasi kemasyarakatan Islam Ahlussunnah wal Jama’ah yang dinamakan Nahdlatul Ulama atau “kebangkitan para ulama”. Tanggal 31 Januari 1926 ditetapkan sebagai hari lahir NU. NU bergerak di bidang keagamaan dan kemasyarakatan serta dibentuk dengan tujuan untuk memahami dan mengamalkan ajaran Islam, baik dalam konteks komunikasi vertikal dengan Allah SWT maupun komunikasi horizontal dengan sesama manusia. Dalam perjalanan riwayatnya, NU berkembang pesat dan amat terjaga secara tradisional. Kini, NU menjadi organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia, hidup berdampingan dengan wakil kelompok Islam-reformis yang dulu berpolemik, Muhammadiyah. Baca juga: Kiai Dahlan & Muhammadiyah. Tirto.id

Bagi pembaca yang belum mendapatkan/ memiliki koleksi Koas Santri terkeren kami
silahkan  segera menghubungi costumer servis kami via Whatsapp di 085740902266

Rincian Harga
Size : S, M, L, dan XL     = Rp 65.000
Size : XXL                       = Rp 70.000
Size : XXXL                     = Rp 75.000
Lengan Panjang tanbah  = Rp 5000


RP 65.000
Lihat Detail

Kaos Santri, Penjelasan Singkat Islam Nusantara

Jual Kaos Santri
Kaos Santri
Kaos Santri, Apa sebenarnya yang dimaksud dengan Islam Nusantara? Pertanyaan ini mengawali diskusi Pra-Muktamar ke-33 NU di Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (22/4) petang. Para peserta diskusi yang datang dari berbagai daerah di Indonesia timur selama lebih dari dua jam diajak mengulas topik tersebut berikut turunannya.
Pada forum bertema “Islam Nusantara sebagai Islam Mutamaddin Menjadi Tipe Ideal Dunia Islam” ini panitia menghadirkan sejumlah narasumber, antara lain pakar ushul fiqh yang juga Katib Syuriah PBNU KH Afifuddin Muhajir, guru besar filologi Islam UIN Jakarta Oman Fathurrahman, sejarawan Agus Sunyoto, pakar tasawuf KH Mustafa Mas’ud, dan Prof DR Azhar Ibrahim Alwee dari National University of Singapore.
Oman yang setuju dengan istilah itu mengatakan, ada kesalahpahaman ketika sejumlah orang menolak pelabelan “Nusantara” terhadap Islam. Menurut mereka, Islam adalah Islam, tak perlu labelisasi.
“Padahal yang kita maksud bukan Islam yang normatif tapi Islam empirik yang terindegenisasi,” katanya. “Oleh kerena itu kita mencoba merumuskan sebuah kalimat, Islam Nusantara itu adalah Islam Nusantara yang empirik dan distingtif sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi, penerjemahan, vernakularisasi Islam universal dengan realitas sosial, budaya, dan sastra di Indonesia,” imbuhnya.
Menurut Oman, Islam Nusantara ada namun minim data thabaqat (biografi) yang komprehensif para tokoh muslim Nusantara setidaknya sejak abad ke-16. Hal ini berbeda dari fakta yang ada di Arab dan Persia, yang mengakibatkan bangunan sejarah keduanya sangat kokoh lantaran kekayaan sumber literasi tentang itu.
Sementara Kiai Afif yang menyoroti Islam Nusantara dari sudut pandang fiqih mengatakan, istilah “Islam Nusantara” memang agak ganjil didengar lantaran Islam memang sumbernya satu dan bersifat ilahiyah. Tapi, katanya, harus diperhatikan bahwa Islam juga terealisasi dalam praktik keseharian. Artinya, selain ilahiyah, Islam juga bersifat insaniyah (manusiawi).
Karena itu, Kiai Afif menilai jika ada Islam Nusantara maka ada juga fiqih Nusantara. “Fiqih Nusantara adalah paham dan prespektif keislaman di bumi Nusantara sebagai hasil dialektika teks-teks syariat dan budaya, juga realitas di (daerah) setempat,” papar pengarang kitab Fathul Mujib al-Qarib ini.
Salah satu pengasuh Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo tersebut menekankan adanya pemahaman kontekstual terhadap teks suci dengan mempertimbangkan adat lokal (urf) demi kemaslahatan tak hanya dari segi ukhrawi tapi juga duniawi.
Lebih jauh Azhar Ibrahim dari Universiti Nasional Singapura memandang Islam yang terbangun di Indonesia bisa menjadi teladan kepada negara-negara Muslim lain, termasuk warga dunia yang lebih besar.
Ia mengatakan, sarjana dan pemerhati telah membayangkan bahwa Islam Nusantara akan menjadi daerah paling cerah dalam dunia Islam. Sebab, kehidupan mayoritas Muslim di Timur Tengah, Benua Kecil India, Afrika Utara dan Afrika Tengah, sedang terhimpit oleh konflik dan keganasan.
“Walaupun tidak menelurkan gagasan filsafat yang rasional ataupun menghasilkan kesarjanaan Islam yang tinggi, Islam Nusantara mempunyai potensi besar untuk menyumbang kepada dunia Islam, malah perdaban dunia,” tuturnya.
Menurutnya Azhar, hal tersebut berakar pada enam poin penting, yakni pengalaman sejarah, orientasi agama yang dominan, pribumisasi Islam yang mengakar, penghargaan dan keteguhan terhadap turats (tradisi), terbangunnya institusi atau kelompok yang mengedepankan wacana Islam inklusif dan dialogis, serta peran ormas dan para pemikir Indonesia yang mencerahkan.
Meski mengajukan fakta dan landasan normatif, semua pembicara tidak memberikan pengertian definitif dan operasional tentang istilah “Islam Nusantara”. Namun, mereka sepakat bahwa ia berkarakter membumi dengan realitas kebudayaan setempat.
“... yang ‘paling Indonesia’ di antara semua nilai yang diikuti oleh semua warga bangsa ini adalah pencarian tak berkesudahan akan sebuah perubahan sosial tanpa memutuskan sama sekali ikatan dengan masa lampau,” kata Azhar mengutip pernyataan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) saat menutup pembicaraan. (Mahbib) NU Online
Bagi pembaca yang belum mendapatkan/ memiliki koleksi Koas Santri terkeren kami
silahkan  segera menghubungi costumer servis kami via Whatsapp di 085740902266

Rincian Harga
Size : S, M, L, dan XL     = Rp 65.000
Size : XXL                       = Rp 70.000
Size : XXXL                     = Rp 75.000
Lengan Panjang tanbah  = Rp 5000


RP 65.000
Lihat Detail

Postingan Populer